Thursday, August 27, 2015

Istitsnā’ (Ungkapan Pengecualian)


Dalam pengertian sederhana (tanpa bermaksud menciptakan definisi baru), Istitsnā’ adalah ungkapan pengecualian, misalnya: “Para murid berdiri, kecuali Ahmad”. Dalam Alfiyyah ibnu Mālik, dibahas 8 lafadz yang berfungsi untuk menyatakan pengecualian, yaitu:

  • اِلَّا
  • غَيْرُ
  • سِوى
  • لَيْسَ
  • خَلَا
  • عَدَا
  • لَا يَكُوْنُ
  • حَاشَ

Secara umum, Istitsnā’ dapat dirumuskan sebagai berikut:

RUMUS ISTITSNĀ’ 1.
مُسْتَــثْـنَى
+
أَدَاةُ الْإِسْتِــثْـنَاء
+
مسْتَثْنَى مِنْهُ
unsur yang dikecualikan/ dikeluarkan

lafadz yang mempunyai makna ‘kecuali’

lafadz yang tadinya memuat unsur yang dikecualikan

CONTOH:
1
Para murid telah berdiri kecuali Ahmad
قَامَ التَّلَامِيْذُ اِلَّا أَحْمَدَ

Pada contoh di atas, lafadz أَحْمَدَ merupakan mustatsnā (yang dikecualikan/dikeluarkan) dari mustatsnā minhu, yaitu lafadz التَّلَامِيْذُ. Lafadz yang digunakan untuk mengecualikan lafadz أَحْمَدَ dari lafadz التَّلَامِيْذُ dalam hal ini adalah اِلَّا. Contoh lainnya sebagai berikut.

2
Para guru telah hadir selain/kecuali Zaid
حَضَرَ الْأَسَاتِيْذُ غَيْرَ زَيْدٍ

Kali ini, lafadz غَيْر yang digunakan untuk mengecualikan. Lafadz yang berposisi sebagai mustatsnā adalah زَيْدٍ, sedangkan mustatsnā minhu-nya الْأَسَاتِيْذُ.

Umumnya, mustatsnā merupakan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada dua contoh di atas: Ahmad (mustatsnā) merupakan bagian dari para murid (mustatsnā minhu). Maksudnya, Ahmad termasuk murid yang dibicarakan dalam contoh. Zaid (mustatsnā) juga termasuk bagian dari para guru (mustatsnā minhu). Dalam beberapa kasus, mustatsnā bisa jadi bukan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada contoh kita di bawah ini:

3
Para lelaki telah hadir kecuali seekor kuda
جَاءَ الرِّجَالُ إِلَّا فَرَسًا

Baiklah, lafadz فَرَسًا (seekor kuda) adalah mustatsnā; الرِّجَالُ (para lelaki) mustatsnā minhu-nya. Bukankah jelas, kuda bukan bagian dari para lelaki?

RUMUS ISTITSNĀ’ 1 di atas merupakan bentuk paling umum dan paling standard dalam susunan ungkapan Istitsnā’. Demi memudahkan penulisan, rumus tersebut nantinya akan diperinci menjadi beberapa bentuk, berdasarkan pengelompokan adātul istitsnā’-nya dan jenis kalāmnya. Nanti, akan kita bahas juga rumus yang agak berbeda, in syaa Allah.

Semoga Allah sehatkan kita.

Antara Alfiah Ibnu Malik dan Alfiah Ibnu Mu’thiy


Pada bait kelima Alfiah-nya, syeikh Ibnu Malik telah menegaskan bahwa Alfiah yang hendak beliau tulis mengungguli Alfiah Ibnu Mu’thiy. Konon, pada bait keenam, beliau pada awalnya hendak menyatakan bahwa kitab beliau lebih unggul 1000 bait ketimbang yang disusun oleh syeikh Ibnu Mu’thiy. Setelah penulisan separo pertama bait keenam tersebut, tiba-tiba beliau tidak mampu melanjutkan kitab Alfiah yang hendak beliau karang selama berhari-hari.

Suatu ketika, beliau bermimpi bertemu dengan seorang pria tak dikenal. Pria itu berkata, “Kudengar bahwa Engkau sedang menulis kitab Alfiah yang membahas tentang ilmu Nahwu.”

“Ya,” kata syeikh Ibnu Malik.

“Sudah sampai mana?” tanya pria tak dikenal itu.

“Sampai ‘mengunggulinya (kitab Alfiah ibnu Mu’thiy) dengan seribu bait’,” jawab yang ditanya.

“Apa yang menghalangimu menyempurnakan bait ini?”

“Aku sudah tidak mampu melanjutkan selama berhari-hari.”

“Apakah Engkau ingin menyempurnakannya?”

“Ya”

Satu yang hidup memang terkadang mengalahkan seribu yang mati ya. . .” ujar syeikh Ibnu Mu’thiy. Kemungkinan, pernyataan beliau ini ditujukan untuk menegur syeikh Ibnu Malik.

“Jangan-jangan Engkau Ibnu Mu’thiy?” kata syeikh Ibnu Malik, tersadar dengan  siapa beliau sedang berbicara.

“Ya,” jawab pria itu singkat.

Syeikh Ibnu Malik terbangun. Terngiang oleh apa yang didengarnya dalam mimpi, beliau diliputi rasa malu. Maka ketika masuk waktu Shubuh, beliau menghapus paroh pertama bait keenam yang telah beliau tulis, kemudian beliau ganti dengan bait keenam sebagaimana yang sekarang tertulis di kitab-kitab Alfiah Ibnu Malik yang beredar di tengah-tengah kita.


WaLlahu a`lam.