- اِلَّا
- غَيْرُ
- سِوى
- لَيْسَ
- خَلَا
- عَدَا
- لَا يَكُوْنُ
- حَاشَ
Secara umum, Istitsnā’
dapat dirumuskan sebagai berikut:
RUMUS ISTITSNĀ’ 1.
مُسْتَــثْـنَى
|
+
|
أَدَاةُ
الْإِسْتِــثْـنَاء
|
+
|
مسْتَثْنَى مِنْهُ
|
unsur yang dikecualikan/
dikeluarkan
|
lafadz yang mempunyai makna
‘kecuali’
|
lafadz yang tadinya memuat
unsur yang dikecualikan
|
CONTOH:
1
|
Para murid telah berdiri kecuali Ahmad
|
قَامَ التَّلَامِيْذُ
اِلَّا أَحْمَدَ
|
Pada contoh di atas,
lafadz أَحْمَدَ
merupakan mustatsnā (yang dikecualikan/dikeluarkan) dari mustatsnā minhu, yaitu
lafadz التَّلَامِيْذُ.
Lafadz yang digunakan untuk mengecualikan lafadz أَحْمَدَ dari lafadz التَّلَامِيْذُ dalam hal ini adalah اِلَّا. Contoh lainnya sebagai
berikut.
2
|
Para guru telah hadir selain/kecuali
Zaid
|
حَضَرَ الْأَسَاتِيْذُ غَيْرَ زَيْدٍ
|
Kali ini, lafadz غَيْر yang
digunakan untuk mengecualikan. Lafadz yang berposisi sebagai mustatsnā adalah زَيْدٍ,
sedangkan mustatsnā minhu-nya الْأَسَاتِيْذُ.
Umumnya, mustatsnā
merupakan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada dua contoh di atas: Ahmad
(mustatsnā) merupakan bagian dari para murid (mustatsnā minhu). Maksudnya,
Ahmad termasuk murid yang dibicarakan dalam contoh. Zaid (mustatsnā) juga
termasuk bagian dari para guru (mustatsnā minhu). Dalam beberapa kasus,
mustatsnā bisa jadi bukan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada contoh kita
di bawah ini:
3
|
Para lelaki telah hadir kecuali seekor
kuda
|
جَاءَ الرِّجَالُ إِلَّا فَرَسًا
|
Baiklah, lafadz فَرَسًا
(seekor kuda) adalah mustatsnā; الرِّجَالُ
(para lelaki) mustatsnā minhu-nya. Bukankah jelas, kuda bukan bagian dari para
lelaki?
RUMUS
ISTITSNĀ’ 1 di atas merupakan
bentuk paling umum dan paling standard dalam susunan ungkapan Istitsnā’. Demi
memudahkan penulisan, rumus tersebut nantinya akan diperinci menjadi beberapa
bentuk, berdasarkan pengelompokan adātul istitsnā’-nya dan jenis
kalāmnya. Nanti, akan kita bahas juga rumus yang agak berbeda, in syaa Allah.