Thursday, August 27, 2015

Istitsnā’ (Ungkapan Pengecualian)


Dalam pengertian sederhana (tanpa bermaksud menciptakan definisi baru), Istitsnā’ adalah ungkapan pengecualian, misalnya: “Para murid berdiri, kecuali Ahmad”. Dalam Alfiyyah ibnu Mālik, dibahas 8 lafadz yang berfungsi untuk menyatakan pengecualian, yaitu:

  • اِلَّا
  • غَيْرُ
  • سِوى
  • لَيْسَ
  • خَلَا
  • عَدَا
  • لَا يَكُوْنُ
  • حَاشَ

Secara umum, Istitsnā’ dapat dirumuskan sebagai berikut:

RUMUS ISTITSNĀ’ 1.
مُسْتَــثْـنَى
+
أَدَاةُ الْإِسْتِــثْـنَاء
+
مسْتَثْنَى مِنْهُ
unsur yang dikecualikan/ dikeluarkan

lafadz yang mempunyai makna ‘kecuali’

lafadz yang tadinya memuat unsur yang dikecualikan

CONTOH:
1
Para murid telah berdiri kecuali Ahmad
قَامَ التَّلَامِيْذُ اِلَّا أَحْمَدَ

Pada contoh di atas, lafadz أَحْمَدَ merupakan mustatsnā (yang dikecualikan/dikeluarkan) dari mustatsnā minhu, yaitu lafadz التَّلَامِيْذُ. Lafadz yang digunakan untuk mengecualikan lafadz أَحْمَدَ dari lafadz التَّلَامِيْذُ dalam hal ini adalah اِلَّا. Contoh lainnya sebagai berikut.

2
Para guru telah hadir selain/kecuali Zaid
حَضَرَ الْأَسَاتِيْذُ غَيْرَ زَيْدٍ

Kali ini, lafadz غَيْر yang digunakan untuk mengecualikan. Lafadz yang berposisi sebagai mustatsnā adalah زَيْدٍ, sedangkan mustatsnā minhu-nya الْأَسَاتِيْذُ.

Umumnya, mustatsnā merupakan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada dua contoh di atas: Ahmad (mustatsnā) merupakan bagian dari para murid (mustatsnā minhu). Maksudnya, Ahmad termasuk murid yang dibicarakan dalam contoh. Zaid (mustatsnā) juga termasuk bagian dari para guru (mustatsnā minhu). Dalam beberapa kasus, mustatsnā bisa jadi bukan bagian dari mustatsnā minhu, seperti pada contoh kita di bawah ini:

3
Para lelaki telah hadir kecuali seekor kuda
جَاءَ الرِّجَالُ إِلَّا فَرَسًا

Baiklah, lafadz فَرَسًا (seekor kuda) adalah mustatsnā; الرِّجَالُ (para lelaki) mustatsnā minhu-nya. Bukankah jelas, kuda bukan bagian dari para lelaki?

RUMUS ISTITSNĀ’ 1 di atas merupakan bentuk paling umum dan paling standard dalam susunan ungkapan Istitsnā’. Demi memudahkan penulisan, rumus tersebut nantinya akan diperinci menjadi beberapa bentuk, berdasarkan pengelompokan adātul istitsnā’-nya dan jenis kalāmnya. Nanti, akan kita bahas juga rumus yang agak berbeda, in syaa Allah.

Semoga Allah sehatkan kita.

Antara Alfiah Ibnu Malik dan Alfiah Ibnu Mu’thiy


Pada bait kelima Alfiah-nya, syeikh Ibnu Malik telah menegaskan bahwa Alfiah yang hendak beliau tulis mengungguli Alfiah Ibnu Mu’thiy. Konon, pada bait keenam, beliau pada awalnya hendak menyatakan bahwa kitab beliau lebih unggul 1000 bait ketimbang yang disusun oleh syeikh Ibnu Mu’thiy. Setelah penulisan separo pertama bait keenam tersebut, tiba-tiba beliau tidak mampu melanjutkan kitab Alfiah yang hendak beliau karang selama berhari-hari.

Suatu ketika, beliau bermimpi bertemu dengan seorang pria tak dikenal. Pria itu berkata, “Kudengar bahwa Engkau sedang menulis kitab Alfiah yang membahas tentang ilmu Nahwu.”

“Ya,” kata syeikh Ibnu Malik.

“Sudah sampai mana?” tanya pria tak dikenal itu.

“Sampai ‘mengunggulinya (kitab Alfiah ibnu Mu’thiy) dengan seribu bait’,” jawab yang ditanya.

“Apa yang menghalangimu menyempurnakan bait ini?”

“Aku sudah tidak mampu melanjutkan selama berhari-hari.”

“Apakah Engkau ingin menyempurnakannya?”

“Ya”

Satu yang hidup memang terkadang mengalahkan seribu yang mati ya. . .” ujar syeikh Ibnu Mu’thiy. Kemungkinan, pernyataan beliau ini ditujukan untuk menegur syeikh Ibnu Malik.

“Jangan-jangan Engkau Ibnu Mu’thiy?” kata syeikh Ibnu Malik, tersadar dengan  siapa beliau sedang berbicara.

“Ya,” jawab pria itu singkat.

Syeikh Ibnu Malik terbangun. Terngiang oleh apa yang didengarnya dalam mimpi, beliau diliputi rasa malu. Maka ketika masuk waktu Shubuh, beliau menghapus paroh pertama bait keenam yang telah beliau tulis, kemudian beliau ganti dengan bait keenam sebagaimana yang sekarang tertulis di kitab-kitab Alfiah Ibnu Malik yang beredar di tengah-tengah kita.


WaLlahu a`lam.



Monday, May 11, 2015

Mengenal Isim II

Ada beberapa ciri atau tanda yang bisa kita gunakan untuk mengetahui apakah suatu lafadz merupakan isim atau bukan. Tanda ini sebenarnya berjumlah 30 puluh buah (lihat Tasywiqul Khollan), tetapi dalam Alfiah hanya disajikan lima tanda saja. Kelima tanda ini dianggap yang paling pokok dan yang paling banyak ditemukan dalam teks-teks berbahasa Arab.

Tanda tersebut secara terinci adalah: Jer, Tanwin, Nida, Al, dan Menjadi Musnad Ilaih (disandari oleh lafadz lain).

(1)   JER

Maksudnya, jika suatu lafadz beri’rob jer, maka lafadz tersebut pasti isim. Jadi, kapan pun dan di mana pun kita berjumpa dengan lafadz yang beri’rob jer, berarti lafadz itu adalah kalimat isim.

Suatu lafadz dapat beri’rob jer karena tiga sebab:
·         Kemasukan huruf Jer
·         Menjadi Mudhof Ilaih
·         Mengikuti Lafadz lain yang dibaca Jer

Kemasukan Huruf Jer

Huruf jer ialah huruf-huruf yang menyebabkan isim beri’rob jer. Huruf ini ada sekitar 19, namun yang paling sering digunakan dan paling populer ada 12, yaitu:


Setiap lafadz yang terletak setelah huruf-huruf pada tabel di atas pasti isim, karena hanya isim yang bisa diletakkan sesudah huruf-huruf tersebut.

Contoh:
أَحْمَدُ فِي الْمَسْجِدِ
(Ahmad berada di dalam masjid)

Kita perhatikan bahwa lafadz الْمَسْجِدِ terletak di belakang/sesudah huruf jer فِي. Dengan demikian, dapat kita simpulkan tanpa perlu ragu sedikitpun bahwa lafadz الْمَسْجِدِ merupakan kalimat Isim.

Menjadi Mudhof Ilaih

Jika dalam bahasa Indonesia ada istilah kata majemuk dan frasa, maka dalam bahasa Arab ada istilah susunan Idhofah. Dalam banyak konteks, ketiganya sangat mirip.

Contoh: kitab Zaid (maksudnya kitab milik Zaid). Kata kitab dan Zaid pada contoh ini menjadi satu kesatuan dan disebut dengan kata majemuk. Jika diterjemah ke dalam bahasa Arab, kita peroleh lafadz
كِــتَابُ زَيْـــدٍ
Dua lafadz ini terangkai menjadi satu kesatuan. Jika dihilangkan salah satu lafadz/kata, maka makna yang terjadi tidak akan sama lagi. Rangkaian/susunan seperti ini dalam bahasa Arab disebut susunan Idhofah.

Rangkaian Idhofah terdiri dari dua komponen, yaitu mudhof dan mudhof ilaih. Kita dapat menyajikan rangkaian ini dalam bagan berikut.


Nah, dalam rangkaian Idhofah, Mudhof Ilaih selalu beri’rob jer.
Jadi, dalam contoh kita ini, lafadz  كِــتَابُ adalah mudhof, sedangkan lafadz زَيْـــدٍ  adalah mudhof ilaih. Karena mudhof ilaih selalu beri’rob jer, berarti lafadz زَيْـــدٍ juga beri’rob jer. Dengan demikian, lafadz زَيْـــدٍ pastilah isim.

Akan kita bahas rangkaian Idhofah lebih detail suatu hari nanti, in syaa Allah. Semoga Allah memudahkan dan meridhoi usaha-usaha baik kita. Amin.

Mengikuti Lafadz Lain yang Dibaca Jer

Karena bagian ini membutuhkan lumayan banyak bekal informasi, untuk sementara, kita tinggalkan dulu bagian ini. In syaa Allah akan kita bahas kelak.

WaLlahu a'lam bishshowaab.

Monggo bila ada kritik atau koreksi. Terima kasih dan semoga bermanfaat.

Wednesday, January 7, 2015

Mengenali Isim I

Untuk mengetahui apakah suatu lafadz merupakan isim atau bukan, minimal ada dua cara yang bisa kita gunakan: (1) membuka kamus, dan (2) menganalisa tanda keisimannya.

(1)    Membuka Kamus

Telah kita ketahui bahwa isim adalah kata benda. Ini artinya, jika kita mencari suatu lafadz di dalam kamus, dan lafadz tersebut bermakna kata benda, maka lafadz tersebut berarti isim.

Contoh: Kita hendak mencari lafadz رِجْــــــــلُ yang ada pada lafadz رِجْــــــــلُ اْلفَـــتَى

Saat kita buka di kamus, kita menemukan bahwa lafadz رِجْــــــــلُ bermakna ‘kaki’. Nah, karena ‘kaki’ adalah kata benda, maka lafadz رِجْــــــــلُ juga kata benda.



Cara ini lumayan praktis, karena lebih pasti. Tetapi, cara ini tidak cocok diterapkan pada beberapa situasi. Misalnya saat kita mencari tahu apakah lafadz صَــــــهْ (artinya: diamlah) isim atau bukan. Lafadz tersebut, dalam bahasa Arab, disebut isim fi’il, yaitu isim yang fungsi dan tabiatnya mirip sekali dengan fi’il. Kelak kita akan membahas lebih lanjut mengenai isim fi’il, in syaa Allah. 


Wednesday, December 10, 2014

Pendahuluan



أَحْمَـــــــــــــــــدُ رَبِّيْ اللهَ خَيْرَ مَـــــــــــــــــــــــــالِكِ
::
قـَــــــــــالَ مُحَــــــــمَّدٌ هُوَ ابْنُ مـَــــــــــــــــــــــــالِكِ
1
وَ ألِـــــــــــــهِ اْلمُسْتَكْـــــــــــمِلِيْنَ الشَّــــــــرَفَـــــــا
::
 مُصَـــــــــــــــلِّيًا عَلَى النَّبِيِّ اْلمُصْـــــــــــــــطَـفَى
2
مَـــــــــــــــقَاصِــــــدُ النَّـــــــــــحْوِ بِـهَا مَحْوِيَّــــــــــهْ
::
وَ أَسْتَعِـــــــــــيْنُ اللهَ فِــــــــيْ أَلْفِــــــــــــــــــــــــــــــــــيَّهْ
3
وَ تَبْــــــــــسُطُ الْبَـــــــــــــــذْلَ بـِــــوَعْدٍ مُنْـــــجَزِ
::
تُقَرِّبُ الْأَقْصَـــــــــى بِلَــــفْـــــظٍ مُـــــــــــــــــــوْجَزِ
4
فَائِـــــــــــــــــــقَةً أَلْفِـــــــــــــــــــــــــــيَّةَ ابْنِ مُعْـــــــــــطِيْ
::
وَ تَقْــتَضِــــــــــيْ رِضًــــــــــــــــــا بِغَيْرِ سُخْــــــــطِ
5
مُسْتَوْجِبٌ ثَنَــــــــــــــــــــــائِيَ الْجَمِــــــــــــــــــــــيْلَا
::
وَ هْوَ بِسَبـْــــــــــــــــــقٍ حَــــــــــــــائِزٌ تَفْضِـــــــــيْلَا
6
لـِــــــــــيْ وَ لـَــــهُ فِـــــيْ دَرَجَـــــــــاتِ الْآخِـــــرَةْ
::
وَ اللهُ يَقْــــــــــــــــــــــــضِيْ بِهِبـَـــــــــاتٍ وَافِــــــــرَةْ
7

[1]  Syeikh Muhammad, yaitu (putra dari) putra Syeikh Malik hendak berkata: Aku memanjatkan puja dan puji ke hadirat Rabbku, Allah, Sang Penguasa Terbaik.
[2]  Sembari menghaturkan sholawat kepada sang Nabi yang terpilih dan keluarga beliau yang senantiasa berupaya menyempurnakan sifat mulia.
[3]  Aku memohon pertolongan kepada Allah dalam menyusun kitab Alfiyyah ini, sebuah kitab yang dengannya, tujuan-tujuan (dalam belajar) ilmu Nahwu dapat tergapai.
[4]  Kitab Alfiyyah memudahkan materi yang sulit dengan lafadz yang ringkas
[5]  Kitab Alfiyyah kelak akan menghendaki kepuasan (dari para pembaca), tanpa cela, dan (di saat yang sama juga) mengalahkan kitab Alfiyyah Ibnu Mu’thiy.
[6]  Namun karena beliau telah menulis kitab Alfiyyah lebih dulu sebelum saya, maka beliaulah yang pantas mendapatkan keunggulan dan berhak mendapatkan sanjungan yang baik dari saya.
[7]  Semoga Allah menghendaki anugerah yang berlimpah, kepada saya dan kepada beliau di kedudukan kami di akhirat nanti.

Sebagaimana terlihat, muqoddimah (pendahuluan) kitab Alfiah terdiri dari total 7 bait nadzom. Pada pendahuluan ini, terdapat beberapa catatan yang barangkali perlu kita ketahui, yakni:
·         Lafadz “قـَــــــــــالَ” di bait pertama berbentuk madhiy (lampau), tetapi bermakna mustaqbal (masa depan). Penggunaan kata kerja bentuk lampau untuk menyatakan makna yang akan datang semacam ini bukanlah sesuatu yang aneh. Nyatanya, di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
أتى أمر الله
Artinya : “Pasti akan datang ketetapan Allah.” (penggalan surat An-Nahl ayat 1)

Pada penggalan ayat di atas, digunakan lafadz “أتى” yang berbentuk lampau (fiil Madhiy). Jika lafadz itu dimaknai sebagaimana biasanya, maka makna yang didapat adalah “telah datang ketetapan Allah”, padahal ketetapan Allah (Hari Kiamat) belum terjadi. WaLLahu a’lam. (Uraian lebih gamblang mengenai nadzom pertama dapat dibaca pada sesi berikutnya, in syaa Allah)

[#]  Syeikh ibnu Malik menggunakan nama Ibnu Malik (terjemah: Putra Malik), padahal Malik adalah nama kakek beliau. Menurut aturan standard, nama yang seharusnya adalah Ibnu AbdiLlah, karena ayah beliau bernama AbduLlah. Mengenai hal ini, syeikh Ibnu Hamdun (baca lebih lanjut di rujukan (1)) menulis bahwa alasan di balik penggunaan nama Ibnu Malik antara lain:

1. Beliau menjaga adab (tata krama) kepada baginda Nabi SAW., karena adanya kesamaan antara nama beliau dan nama ayah beliau dengan nama baginda Nabi SAW. dan nama ayah baginda Nabi SAW.

Bagi beliau, sungguh tidak sopan dan tidak pantas jika beliau menyandang nama yang sama persis dengan nama Baginda Nabi SAW., sosok manusia terbaik dan paling sempurna.

[dari penulis] Nama Syeikh Ibnu Malik yang sebenarnya adalah Muhammad bin AbdiLlah, sama persis dengan nama baginda Nabi SAW. Atas dasar niatan luhur inilah, beliau memutuskan untuk menuliskan nama beliau dengan embel-embel nama kakek, bukan dengan nama ayah seperti lazimnya penulisan nama dalam tradisi bahasa Arab.

2. Beliau menggunakan nama Ibnu Malik agar akhir paroh pertama dan akhir paroh kedua bait pertama cocok.

Syeikh Ibnu Hamdun masih menulis tiga alasan lain yang mungkin, namun dua poin di atas kiranya telah mencukupi.

[#]  Kitab Alfiah Ibnu Malik mengungguli kitab Alfiah Ibnu Mu’thiy (lihat bait ke-5) atas dasar beberapa pertimbangan (rujukan (2)):

1. Kitab Alfiah Ibnu Malik lebih ringkas daripada kitab Alfiah Ibnu Mu’thiy, dan memuat lebih banyak (lebih lengkap) materi Nahwu-Shorof daripada yang dimuat oleh kitab Alfiah ibnu Mu’thiy.

2   2. Kitab Alfiah Ibnu Malik menggunakan hanya satu bahar saja, yakni bahar Rojaz, pada seluruh baitnya, sedangkan kitab Alfiah Ibnu Mu’thiy menggunakan dua bahar, yakni bahar Rojaz dan bahar Sarii’. Penggunaan satu bahar tentu lebih seragam dan lebih baik daripada penggunaan dua bahar.

Uraian lebih gamblang mengenai bait ke-5 dapat dibaca pada episode berikutnya. In syaa Allah.

Rujukan:
(1)   Khasyiah Abil ‘Abbas Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Hamdun bin Al-Haajj atas Syarh Al-Imam Abi Zaid Siidiy Abdur Rohman Al-Makudiy. Terbit tahun 2005. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.

(2)   Dalilus Salik ilaa Alfiah Ibni Malik, karya AbduLlah bin Sholeh Al-Fauzan. Penerbit Darul Muslim.

Jika ada salah, mohon saran dan kritiknya... Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.


Tuesday, December 9, 2014

Kitab Alfiyah ibnu Malik & Beberapa Syarahnya



Di antara kitab monumental yang membahas ilmu Nahwu adalah Kitab Al-Fiyah Ibnu Malik, buah pena dari Al-Imam Jamaluddin Muhammad bin AbduLlah bin Malik Al-Andalusiy. Meskipun nama ayah beliau Syeikh AbduLlah, beliau malah menyematkan nama kakek beliau di belakang nama, sehingga beliau lebih dikenal dengan nama Syeikh Ibnu Malik. (Ibnu Malik artinya Anak Malik, padahal Malik adalah nama kakek beliau. Nama yang seharusnya adalah Ibnu AbdiLlah, artinya Anak AbduLlah). Mengenai penamaan ini, para ulama menanggapi bahwa itu dilakukan sebagai rasa kerendahan hati Syeikh Ibnu Malik, karena nama beliau dan nama ayah beliau sama persis dengan nama RasuluLlah SAW. dan ayah beliau.

Syeikh Ibnu Malik lahir di kota Jayyan, Andalusia (sekarang bernama Spanyol), pada awal abad ketujuh. Ketika mendekati umur 30, beliau memutuskan untuk meninggalkan negara kelahirannya, kemudian bolak-balik antara Mesir dan Damaskus, hingga beliau wafat di Damaskus pada tahun 762 H. Syeikh Ibnu Malik mengisi hidupnya dengan belajar tanpa henti. Beliau menjadi ulama jempolan di bidang Ulumul Lughoh (Bidang-bidang Ilmu yang berkaitan dengan bahasa, dalam hal ini bahasa Arab) dan syair. Beliau juga menjadi imam di bidang ilmu qiro’ah (baca Al-Qur’an) dan mampu memahami hadis dengan sangat baik. Beliau habiskan usia beliau untuk belajar, mengajar dan mengarang tanpa henti, sampai beliau dipanggil untuk menghadap Allah.

Kitab Alfiyah adalah kitab yang membahas ilmu Nahwu dan ilmu Shorof, yang sajiannya berbentuk syair. Diberi judul Alfiyah (artinya seribuan), karena kitab ini memuat 1002 baris syair. Dalam tradisi pesantren, Alfiyah seringkali dijadikan bahan hafalan dan dianggap sebagai kitab yang sangat istimewa. Hampir bisa dipastikan bahwa pesantren salaf, bahkan ma’had-ma’had di berbagai negara di dunia, menggunakan Alfiyah sebagai buku materi pelajaran dalam kurikulumnya.

Karena kelebihannya, banyak ulama menulis kitab syarah untuk Alfiyah, dan dari syarah-syarah itu, para ulama kemudian menuliskan kitab khasyiah yang membahas lebih mendalam kitab syarah. Di antara kitab syarah dari Alfiyah Ibnu Malik yang terkenal adalah Ibnu Aqil, Syarh Ibnu Aqil, Dahlan Alfiyah, Syarh Al-Asymuniy, Syarh Al-Makudiy, Al-Bahjah Al-Mardhiyyah, Dalilus Saalik Ilaa Alfiyah Ibni Malik, dan masih banyak lagi. Sedangkan judul-judul kitab khasyiah yang masyhur antara lain: Khasyiah Al-Khudhoriy atas Ibnu ‘Aqil, Khasyiah Ash-Shobban atas syarh Al-Asymuniy, Khasyiah Ibnu Hamdun atas syarh Al-Makudiy, dst.

Di antara berbagai judul, kitab syarah yang membahas isi Alfiyah dengan sangat paling renyah dan lugas barangkali adalah Ibnu ‘Aqil. Sedangkan kitab syarah yang sajiannya sangat gamblang, namun tetap fokus pada pembahasan isi materi Alfiyah antara lain kitab Dalilus Salik ila Alfiyah Ibni Malik yang tahun penulisannya tergolong masih sangat baru. Untuk kitab syarah yang fokus pada pembahasan lafadz dan sisi kebahasaan (meliputi analisa struktur kalimat, dsb.) dari syair-syair Alfiyah, Syarh Ibni Aqil dapat diandalkan. Ketiga judul tersebut sangat direkomendasikan dan menjadi sumber rujukan utama penulisan materi Muhibbu Alfiyah Ibnu Malik.

Semoga bermanfaat. WaLlahu a’lam.

Referensi: Taarikh An-Nahwi Al-‘Arabiy fiy Al-Masyriqi wa Al-Maghribi, cetakan kedua, karya Dr. Muhammad Al-Mukhtar Walad Abbaah, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Wednesday, August 20, 2014

Kalimat dalam Bahasa Arab

Huruf Hijaiyah

Huruf hijaiyah adalah semua huruf dalam bahasa Arab yang jumlahnya ada 28 buah. Huruf tersebut adalah huruf-huruf yang saya sajikan dalam tabel di bawah ini.










Keduapuluh delapan huruf di ataslah yang membentuk semua ungkapan dan tulisan dalam bahasa Arab.

Lafadz 

Lafadz adalah suara yang memuat huruf hijaiyah. Sebagai contoh adalah suara dari tulisan قَلَمٌ. Ketika tulisan ini diucapkan, maka yang terdengar adalah suara yang terdiri dari huruf ل, ق dan م. Menurut pengertian di atas, tulisan tidak bisa disebut lafadz, karena tulisan bukan suara. Sama halnya, suara yang tidak memuat huruf hijaiyah juga tidak bisa disebut lafadz.



Meskipun demikian, saat saya (atau penulis di buku/kitab) menulis “قَلَمٌ adalah lafadz”, maka yang dimaksud sebenarnya, “suara yang tulisannya قَلَمٌ adalah lafadz”. Atau jika saya menulis “lafadz قَلَمٌ adalah kalimat isim”, maka yang saya maksud, “lafadz yang tulisannya قَلَمٌ adalah kalimat isim”. Dan sebagainya.

Kalimat 

Kalimat adalah lafadz yang mempunyai makna dan tidak tersusun. Sebagai contoh, lafadz “َضَرَب” adalah kalimat, karena mempunyai makna, yaitu 'telah memukul'. Lafadz seperti “ٌدَيْز” tidak bisa disebut kalimat, karena tidak mempunyai makna. Menurut pengertian ini, dapat kita lihat bahwa kalimat dalam bahasa Arab memiliki pengertian yang berbeda dengan kalimat dalam bahasa Indonesia. ‘Kalimat’ dalam bahasa Arab memiliki makna sama dengan ‘kata’ dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini dan seterusnya, ketika saya menyebut kalimat, maka yang saya maksud adalah kalimat menurut pengertian bahasa Arab /Ilmu Nahwu. Jadi, mari kita cermat dan teliti dalam memahami perbedaan istilah ini.


Tulisan berikutnya: Pembagian Kalimat