Kisah ini bermula dari sebuah
percakapan di teras rumah yang terjadi berabad-abad lalu, pada suatu malam
dengan gumintang yang berkedip-kedip bagaikan serpih berlian. Malam yang
sungguh indah. Di teras itu, tampak sesosok laki-laki dan sesosok perempuan sedang
bercakap-cakap. Mereka berdua adalah Abul Aswad Ad-Dualiy dan putrinya.
“Maa akhsanu ssamaa’i? (Langit seperti apakah yang paling bagus?)”
terdengar suara si putri, bertanya seakan dengan rasa heran dan takjub.
“Langit yang bintang-bintangnya paling terang.” Jawab Abul Aswad
Ad-Dualiy.
“Bukan itu maksud saya, Yah.” Protes si putri, merasa maksudnya
tidak tersampaikan. “Sebenarnya saya bermaksud mengungkapkan ketakjuban saya
atas keindahan langit.” Lanjutnya.
Mendengar itu, Abul Aswad Ad-Dualiy terkejut. Ucapan putrinya
membuatnya tersadar akan sebuah bahaya yang mengancam, bahwa kelestarian bahasa
ibu mereka sedang terancam.
“Kalau maksud kamu itu, katakan maa ahsana ssamaa’a (alangkah
indahnya langit).” katanya mengoreksi kesalahan putrinya. . .
Keesokan paginya, Abul Aswad Ad-Duali datang menghadap Amirul
Mukminin, Sayyidina Ali r.a.
“Amirul Mukminin, ini gawat, generasi muda kita telah mengalami
bencana yang tidak pernah kita sangka-sangka.” Lapornya. Abul Aswad Ad-Dualiy
kemudian menceritakan percakapan dengan putrinya tadi malam.
“Ini terjadi akibat akulturasi yang timbul dari pergaulan
orang-orang bangsa Arab dengan bangsa non-Arab.” Jawab sang Amirul Mukminin.
Dengan sigap, atas perintah Amirul Mukminin, Abul Aswad Ad-Dualiy
membeli kertas untuk mencatat apa yang akan disampaikan Amirul Mukminin
beberapa hari kemudian. Pada waktu yang telah ditentukan, Amirul Mukminin
mulai mendiktekan pembagian kalam, bahwa bagian dari kalam ada tiga: isim, fiil
dan huruf yang mempunyai makna; dan beberapa hal mengenai ta’ajjub
(eksklamasi/ekspresi ketakjuban).
“Inkhi nakhwa haadzaa (Lanjutkan terus seperti ini).” Kata Amirul
Mukminin. [Dari sinilah asal muasal pemberian nama Nahwu yang terus dipelajari
hingga saat ini. Nama ini diresmikan demi mengharap barokah dari Amirul
Mukminin]. “Teruskan,” lanjut beliau, “tambahkan apa yang sudah Kau ketahui.
Ketahuilah, segala sesuatu itu pada dasarnya hanyalah tiga macamnya: dzohir
(sesuatu yang maknanya sudah jelas), mudhmar (sesuatu yang maknanya masih tersimpan/tersirat),
dan sesuatu yang bukan dzohir maupun mudhmar. Sebenarnya, orang-orang saling
beradu keunggulan untuk mencari tahu sesuatu yang bukan dzohir maupun mudhmar.”
Berdasarkan petunjuk tersebut, Abul Aswad Ad-Dualiy berhasil
mengumpulkan banyak materi tambahan. Sebagian dari poin-poin yang didapatkannya
adalah sejumlah huruf yang bertugas menashobkan (An-Nawaashib), antara
lain: Inna, Anna, Layta, La^alla dan Ka-anna, tanpa memasukkan Lakinna.
“Kenapa Kau tidak memasukkan Lakinna dalam daftar huruf yang
menashobkan?” tanya Amirul Mukminin.
“Saya tidak menganggapnya termasuk dalam daftar itu.” Jawab Abul
Aswad Ad-Dualiy.
“Tetapi Lakinna memang termasuk jenis huruf yang menashobkan.”
kata Amirul Mukminin menjelaskan. “Kalau begitu, tambahkan ke dalam
daftar!” perintahnya.
Maka dimasukkanlah Lakinna ke dalam daftar.
Penyusunan materi Nahwu terus-menerus berlangsung. Peristiwa demi
peristiwa menginspirasi penambahan materi ilmu yang saat itu masih baru lahir.
Pada suatu hari, Abul Aswad Ad-Dualiy mendengar seorang lelaki yang membaca
salah satu ayat surat At-Taubah dengan menyalahi ketentuan baku Na^at dan
^Athof. Terinspirasi oleh peristiwa ini, ilmu Nahwu mendapat tambahan materi
Na^at dan ^Athof.
Sebagaimana halnya perjalanan ilmu yang lainnya, ilmu Nahwu pun
terus berkembang dari masa ke masa, dari negara ke negara, dari pena ke pena.
Sekarang, kita telah mengenal bermacam-macam kitab Nahwu, seperti Nahwu
Waadhikh, Matan Al-Ajruumiyah (biasa kita sebut Jurumiyah) beserta aneka syarah
dan khaasyiyahnya, Nadzom Imriithy dengan syarahnya seperti Fatkhu Robbil
Bariyyah, K’hulaashoh Alfiyyah Ibn Maalik beserta berbagai syarah dan
khasyiyahnya, dan masih banyak lagi.
Kekayaan sumber literatur Nahwu ini hendaknya mebuat hati kita
tergerak untuk mempelajarinya. Bahwa jumlah literatur yang banyak menunjukkan
tingkat urgensi untuk mempelajarinya. Di dalam Syarah Muk’htashor Jiddan atas
Jurumiyah, cukup banyak disebutkan bentuk-bentuk urgensi dari mempelajari
Nahwu. Sayyidina Umar r.a. mengatakan, “ Belajarlah Sunnah dan Fardhu, dan
bahasa (Arab) seperti kalian belajar Al-Qur’an.”.
Imam Baihaqiy meriwayatkan dari Abi Az-Zanaad dari Ayahnya (yakni
ayah dari Abi Az-Zanaad), “Tidak ada orang di Timur yang menjadi kafir Zindiiq
kecuali karena mereka tidak paham bahasa Arab yang baik.” Artinya, (waLlahu
a^lam), mereka menjadi kafir zindiiq karena mempelajari Al-Qur’an dan Hadits
tanpa dibekali pemahaman yang cukup terhadap bahasa Arab (khususnya Nahwu dan
Shorof), sehingga mereka banyak salah paham (na^uudzu biLlah min syarri
dzaalik). Akibatnya, pemahaman mereka justru bersebarangan dengan maksud dari
Al-Qur’an dan Hadits (na^uudzu biLlah min syarri dzaalik). Padahal, bagi
pelajar Tafsir dan Hadist, sifat dari mempelajari Nahwu adalah fardhu ^ain.
Syeikh Jalaluddin As-Suyuuthiy menulis dalam kitab Alfiyahnya,
“Para ulama sepakat bahwa Nahwu dibutuhkan dalam mempelajari setiap cabang ilmu
(agama), terlebih lagi Tafsir dan Hadits, karena seseorang tidak boleh
serta-merta membahas isi Al-Qur’an, kecuali dia telah menempuh waktu yang cukup
dalam belajar bahasa Arab, karena Al-Qur’an adalah bahasa Arab. Maksud yang
terkandung di dalamnya tidak akan dapat dipahami kecuali dengan memahami
kaidah-kaidah dalam Bahasa Arab. Hal ini juga berlaku dalam mempelajari Hadits.”
Mugi-mugi sageto paring manfaat.
Al-faqiir Murtakibud Dzunuub, Afif.
Ahad, 17 Maret 2013
swun kang
ReplyDelete